Pada
beberapa tahun silam, sepulang dari kantor ketika saya berjalan menuju halaman
tidak kurang dari 200 m. Terpaksa saya numpang berteduh di pos satpam. Saat
hujan masih belum reda sebuah jeep berhenti tepat di depan pos, jeep ini sering
saya lihat parkir di lantai dasar tempat parkir mobil direksi hingga kepala
staf. Dari dalam mobil seorang lelaki membuka pintu mobil dan mempersilahkan
saya naik. ‘’hujan sangat lebat, air sudah mulai menggenang di parkiran.’’
Ucapnya memberi penjelasan. Setelah saya naik, mobil terus menerobos guyuran
air hujan, sementara saya masih bingung grogi harus berbuat apa. ‘’mungkin anda
belum kenal saya, tapi saya sudah tau siapa anda,’’ kata lelaki itu sembari
menjulurkan tangan dan menyebutkan nama.
Mobil
terus berjalan dan hujan sudah mulai reda, di sepanjang perjalanan kami berdua terlibat ngobrol ringan, tanpa saya sadari mobil
telah memasuki jalan kampung, dan ‘’rumah anda nomor berapa?’’ tanya sang
pengemudi. Astaga dari mana dia tau saya tinggal di kampung ini, dan kenapa
saya tidak sadar mobil telah memasuki jalan kampung saya. Setelah saya sadar
bahwa mobil telah sampai di kampung saya, saya baru menunjuk sebuah rumah dan
turun dari mobil, saya persilahkan sang pengemudi untuk mampir tapi dia menolak
dengan alasan sudah larut malam.
‘’
lain kali saja,’’ katanya. Sebelum pergi ia memberi sebuah kartu nama Yang tercantum
sebuah nama dengan posisi sebagai General Manager (GM) perusahaan, yang
berkantor satu gedung tempat saya bekerja. Sejak itu tiap pagi (sebut saja
‘’Ang’’) menjemput saya untuk berangkat ngantor bersama dan sore hari saya
selalu di antar pulang, dari kebiasaan lama-kelamaan ada juga desiran rasa suka
yang tertanam dan akhirnya tumbuh menjadi cinta.
Singkat
cerita kami langsung pacaran, tidak lagi hanya sekedar berteman yang satu
perjalanan, kami sering temuan di luar jam kerja, tiap hari jalan bareng. Ang
bagaikan supir pribadi yang selalu siap antar jemput saya di kantor sekaligus
pengawal kemana saya mau pergi. Ang orangnya cerdas, enak di ajak ngomong, juga
tegas dalam bersikap. Setelah hubungan kami berjalan sekian waktu, Ang belum
pernah mengajak saya ke rumahnya untuk silaturahmi atau di perkenalkan dengan
keluarga. Saya merasa tidak enak pada Ang. Kirain saya hanya mementingkan diri
sendiri, Ang sudah antar jemput saya setiap hari sedangkan saya tidak pernah
datang ke rumahnya.
Setelah
semua perasaan yang membuat saya tidak enak saya utarakan, ‘’itu semua bukan
salah anda, kita tidak punya waktu yang cukup untuk itu’’ katanya. ‘’ sudahlah
jangan hakimi diri sendiri.’’ tutur bijaknya. Saya memaklumi ia memang orang
sibuk. Selain dari itu setelah sekian lama kami berpacaran saya merasa tidak
enak juga sama orang tua, apalagi kalau orang tua menanyakan kapan sang pacar
akan melamar saya?, saya jadi bingung.
Hal
itu saya sampaikan pada Ang, ternyata ia memakluminya, dan hal itu akan segera
di bicarakan dengan keluarga. Kalau tidak ada halangan dalam waktu dekat dia
akan segera melamar saya sehingga saya berbunga-bunga waktu itu. Tapi sayang,
kegembiraan berubah menjadi kekecewaan yang sangat mendalam bahkan tidak
terlupakan entah sampai saat ini. Sudah hampir 2 minggu kami tidak bertemu juga
tidak pernah menjemput saya lagi. Saya selidiki mobilnya juga tidak ada di
parkiran, HP nya juga tidak aktif, saya khawatir dan was-was akan terjadi
apa-apa pada dirinya.
Hingga
suatu sore selepas maghrib sebuah mobil berhenti di depan rumah, Yang jelas itu
bukan mobil si Ang yang biasanya. Turun seorang gadis belia kemudian seorang
perempuan tengah baya, siapa gerangan? Setelah yang berada di balik kemudi
turun saya baru yakin itu Ang. Setelah semua keluarga masuk ke rumah, Ang
memperkenalkan keluarganya satu persatu dari ibu hingga adik gadisnya. Sampai
pada pokok persoalan atas kedatangan keluarganya, Ang kelihatan sangat tegang,
dengan suara berat Ang mengatakan bahwa ia baru saja kena PHK dari tempatnya
bekerja.
Dengan
demikian keluarga Ang minta maaf karena rencana melamar saya di tunda, kalau
dari keluarga terutama saya tidak sabar menunggu, dinyatakan bebas menentukan
pilihan. Meski saya dan keluarga sudah menyatakan akan menerima apa adanya
kalaupun Ang sedang menganggur, tapi Ang tidak siap menjalani hidup seperti
itu, Ang tidak mau menjadi beban keluarga. Walau demikian kami masih terus
bertemu, 2 bulan, 3 bulan kontak makin jarang. 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun telah
berlalu hingga kini tidak ada kabar sedikit pun. Ang sudah bekerja tau belum
saya tidak tahu, mungkin Ang sudah melupakan saya, saya juga tidak tahu.
Kini
saya sudah sadar bahwa usia saya sudah memasuki kepala 3 tentu bukan remaja
lagi. Saya sudah mungkin menunggu sesuatu yang belum pasti. Dibilang kecewa,
saya sangat kecewa namun, saya tidak mau memaksakan kehendak atas orang lain.
Saya tau segala sesuatu yang di paksakan akan timbul masalah yang tidak
mengenakkan bahkan akan mengusik ketenangan di kemudian hari.
0 komentar:
Posting Komentar