Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan
sering mengeluh. Setiap timun yang siap di panen selalu keduluan dicuri maling.
Begitu peristiwa itu terus-menerus terjadi. Kejadian yang memilukan ini membuat
petani timun tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah sesama petani , mak
diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya dirumah kiai, sebagaimana
biasanya Kiai sedang mengajar kitab nahwu . kitab tersebut bernama jurmiyah,
suatu kitab tata bahasa arab tingkat pemula.
‘’ Assalamualaikum Kiai,’’ ucapan para petani
serentak. ‘’waalaikum salam,’’ jawab Kiai Kholil. Melihat banyaknya petani yang
datang, Kiai bertanya, ‘’ sampeyan ada keperluan ya..?’’. ‘’benar Kiai , akhir
–akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon pada kiai untuk
penangkalnya,’’ kata petani dengan nada memohon penuh harap. Saat itu kitab yang
dikaji oleh Kiai sampai pada kalimat Qoma Zaidun yang artinya Zaid telah
berdiri.
Beberapa saat tampak hening. Tiba – tiba kiai kholil
berbicara, sambil menunjuk pada kalimat Qoma Zaidun. ‘’ya karena pengajian ini
sampai pada Qoma Zaidun, ya… qoma zaidun ini saja dipakai sebagai
penangkalnya.’’ Seru kiai Kholil dengan tegas dan mantap. ‘’ sudah Kiai? ’’
ujar para petani sedikit tampak ragu. ‘’ ya sudah,’’ jawab kiai kholil
menandaskan. Merasa puas dapat penangkal dari kiai Kholil para petani pun
pulang ke rumah masing – masing.
Keesokan harinya, seperti biasa para petani pergi ke
sawah. Namun betapa terkejutnya sesampainya petani di ladang masing – masing,
dihadapanya sejumlah maling tegak berdiri mematung. Mereka terus – menerus
berdiri dan tidak dapat duduk. Tak ayal lagi, semua maling timun yang meraja
lela selama ini dapat diketahui dan di tangkap. Lama kelamaan, berita
tertangkapnya maling yang tidak bisa duduk tersebar luas. Meskipun pencuri
telah tertangkap namun masih tetap berdiri.
Beberapa orang berupaya untuk mendudukkan namun sis –
sia. Maling timun tetap berdiri dengan muka pucat pasi, sementara orang yang
menonton semakin banyak. Merasa kualahan mengatasi, akhirnya para petani
memutuskan untuk sowan ke kiai Kholil lagi. Sama seperti ketika datang pertama
kali, setelah berbincang-bincang sejenak kiai Kholil memberi segelas air
penangkal. Setelah para petani mendapat air penangkal segera pamit lalu pulang.
Air penangkal lalu di percikan kepada maling yang
tidak bisa duduk. Sungguh luar biasa, hanya sekali percik semua pencuri jatuh
terduduk lunglai di tanah. Dengan suara iba semua pencuri minta ampun dan
mengakui kesalahannya. Mereka berjanji tidak akan mencuri lagi. Maka sejak
kejadian itu, tidak pernah terjadi pencurian timun lagi. Para petani bersyukur
karena ladangnya menjadi aman. Sebagai rasa terima kasih kepada kiai Kholil
para petani sepakat menyerahkan hasil panen timun ke pesantren. Berdokar-dokar
timun mendatangi pesantren. Sejak itu, para santri kebanjiran timun, seluruh
pojok pesantren di penuhi timun.
0 komentar:
Posting Komentar